Tuesday, September 25, 2012

Elegi Ita

saya nemu tulisan saya disbuah milis waktu saya dan adik adik masih jadi warga Margahayu raya Bandung...tulisan yang saya tulis 13 Oktober 2004, emmm berarti delapan tahun silam, saat saya belum menikah hehehe (apa hubungannya coba), mudah mudahan ada hikmahnya...

                                *****
(ini hanya ilustrasi saja)


    Namanya Mbak Ita, usianya mungkin sekitar 28 tahunan.
Parasnya yang tanpa polesan bedak lumayan manis juga,
dengan kulit putih bersih.Dia adalah teman baru saya,
tetapi teman saya yang satu ini ‘istimewa’
dibandingkan puluhan teman yang saya miliki selama
ini.

    Pagi itu, disaat saya lagi menyapu halaman depan
rumah, tiba-tiba ada seorang perempuan muda (yang
akhirnya saya kenal bernama mbak ita) nampak berjalan
tergesa-tergesa sambil menangis, saat itu dia hanya
memakai t-shirt dan rok seadanya dan membawa sebuah
tas tangan berukuran kecil. Ketika melintasiku, dia
berhenti sejenak, lalu menatap saya sesaat. Saya pun
tersenyum ramah, dan dia pun menghampiri saya diteras
rumah.



    Awalnya mbak ita menawarkan sebuah rumah milik
orangtuanya yang katanya akan dijual, namun tanpa bisa
dibendung ,mengalirlah berbagai macam cerita dari
mulutnya. Mulanya pun, saya antara percaya dan tidak
dengan semua rentetan cerita-ceritanya itu, tapi entah
mengapa saya seperti menangkap sebuah kejujuran dari
dalam dirinya. Barulah Ketika saya tatap pandangannya
yang sering tiba-tiba kosong, saya baru menyadari
bahwa mbak ita ini mungkin agak terganggu mentalnya
(duh, nggak tega saya menyebutnya gila).

    Sekali lagi saya tatap kedua bola matanya, disana
saya menemukan rasa takut, sedih, bingung, campur aduk
menjadi satu. Mbak ita bercerita kalau Ibunya dirumah
selalu mencaci maki dirinya dengan panggilan-panggilan
yang sangat kasar, ibunya selalu menyalahkan dirinya,
memarahinya, dll. Mbak ita bilang, ibunya stress,
bapaknya sering memukulnya. Dalam hati saya, ah paling
itu hanya cerita karangan ita saja. Dia juga bercerita
mengenai pacarnya dedy yang tak kunjung menikahinya,
cerita bahwa Mbak ita lulusan sarjana ekonomi sebuah
PTS di Bandung dan sempat bekerja pada salah satu
perusahaan asuransi, dan masih banyak lagi.

    Lagi-lagi, dengan sabarnya saya setia mendengar semua
curhatnya itu. Mungkin bagi sebagian orang akan
berpikir bahwa apa yang saya lakukan sama sekali tidak
ada gunanya, tapi saya tidak berpikir seperti itu,
karena saya selalu ingin mendapatkan hikmah dari
setiap peristiwa yang saya alami.

    Sambil meminum secangkir air putih yang saya
suguhkan, mbak ita meneruskan ceritanya lagi dengan
mata yang berkaca-kaca, Sedih sekali mendengar
perlakuan orangtuanya pada dirinya. Saya elus
pundaknya, dan memberinya sedikit nasihat, agar Mbak
ita sabar menghadapi itu semua, jangan lupa sholat dan
berdo’a..Mbak ita mengangguk menatapku, entah apakah
dia mengerti atau tidak……

    Sungguh saya masih ingin mendengar semua keluh
kesahnya agar dia merasa lebih ringan. Tetapi karena
kebetulan saya ada pekerjaan yang harus dilakukan,
setelah cukup lama saya membujuknya, akhirnya mbak ita
mau juga pulang. Mbak ita berterima kasih kepadaku,
dia menyebutkan alamat rumahnya yang hanya beberapa
blok dari rumahku. Sebelum meninggalkan rumahku, dia
bilang : “eka, tolong bilangin ke tetangga sebelah,
ita mau numpang lewat, jangan disakiti ya…” .Ya Allah,
saya hanya mengelus dada menatap kepergiannya.

    Siangnya, rasa penasaran saya muncul mengenai
kebenaran cerita mbak ita. Tidak sulit menemukan
alamat rumahnya. Saya pun mencoba bertanya dengan
tetangga sebelah rumahnya, dan Subhanallah ternyata
semua yang diceritakan mbak ita itu benar adanya.
Ibunya mbak ita sudah lama mengalami stress berat
(gangguan jiwa), mbak ita pun akhirnya mengalami hal
serupa setelah ditinggal menikah pacarnya, ditambah di
PHK nya dia dari tempatnya bekerja. Akhirnya, mbak ita
menjadi ‘begitu’……

    Ya Allah, apa yang harus saya dapat lakukan untuk
mbak ita? Dia membutuhkan perhatian, kasih sayang, dan
cinta dari orang-orang terdekatnya, tetapi yang dia
peroleh justru sebaliknya. Belakangan saya baru
mengetahui kalau masyarakat sekitar memang sudah lama
mengenalnya sebagai ita yang gila. Saya sedih tak
mampu berbuat banyak buat mbak ita, masih terngiang
ditelinga saya kata-katanya yang pasrah : “Berarti ita
harus selalu sabar ya Ka?”. “Iya mbak ita”, jawabku
singkat dan miris.

    Setengah jam lebih waktu saya hadiahkan untuk mbak
ita pagi itu. Hanya itu yang saat ini bisa saya
berikan untuknya, tanda bahwa saya peduli dengan
penderitaannya. Saya senang bisa mengenalnya,
kehadirannya yang tak pernah saya duga sebelumnya,
membuat saya menjadi tak henti-hentinya bersyukur pada
Allah…Juga menyadarkan saya bahwa begitu banyak
orang-orang semacam ita yang membutuhkan perhatian dan
cinta kita, Sesekali mbak ita masih sering menghampiri
rumahku, saya ingin berbuat sesuatu untuknya. meski
hanya dalam bentuk yang sangat sederhana sekalipun…

Wallahu alam.

0 comments:

Post a Comment

Tuesday, September 25, 2012

Elegi Ita

saya nemu tulisan saya disbuah milis waktu saya dan adik adik masih jadi warga Margahayu raya Bandung...tulisan yang saya tulis 13 Oktober 2004, emmm berarti delapan tahun silam, saat saya belum menikah hehehe (apa hubungannya coba), mudah mudahan ada hikmahnya...

                                *****
(ini hanya ilustrasi saja)


    Namanya Mbak Ita, usianya mungkin sekitar 28 tahunan.
Parasnya yang tanpa polesan bedak lumayan manis juga,
dengan kulit putih bersih.Dia adalah teman baru saya,
tetapi teman saya yang satu ini ‘istimewa’
dibandingkan puluhan teman yang saya miliki selama
ini.

    Pagi itu, disaat saya lagi menyapu halaman depan
rumah, tiba-tiba ada seorang perempuan muda (yang
akhirnya saya kenal bernama mbak ita) nampak berjalan
tergesa-tergesa sambil menangis, saat itu dia hanya
memakai t-shirt dan rok seadanya dan membawa sebuah
tas tangan berukuran kecil. Ketika melintasiku, dia
berhenti sejenak, lalu menatap saya sesaat. Saya pun
tersenyum ramah, dan dia pun menghampiri saya diteras
rumah.



    Awalnya mbak ita menawarkan sebuah rumah milik
orangtuanya yang katanya akan dijual, namun tanpa bisa
dibendung ,mengalirlah berbagai macam cerita dari
mulutnya. Mulanya pun, saya antara percaya dan tidak
dengan semua rentetan cerita-ceritanya itu, tapi entah
mengapa saya seperti menangkap sebuah kejujuran dari
dalam dirinya. Barulah Ketika saya tatap pandangannya
yang sering tiba-tiba kosong, saya baru menyadari
bahwa mbak ita ini mungkin agak terganggu mentalnya
(duh, nggak tega saya menyebutnya gila).

    Sekali lagi saya tatap kedua bola matanya, disana
saya menemukan rasa takut, sedih, bingung, campur aduk
menjadi satu. Mbak ita bercerita kalau Ibunya dirumah
selalu mencaci maki dirinya dengan panggilan-panggilan
yang sangat kasar, ibunya selalu menyalahkan dirinya,
memarahinya, dll. Mbak ita bilang, ibunya stress,
bapaknya sering memukulnya. Dalam hati saya, ah paling
itu hanya cerita karangan ita saja. Dia juga bercerita
mengenai pacarnya dedy yang tak kunjung menikahinya,
cerita bahwa Mbak ita lulusan sarjana ekonomi sebuah
PTS di Bandung dan sempat bekerja pada salah satu
perusahaan asuransi, dan masih banyak lagi.

    Lagi-lagi, dengan sabarnya saya setia mendengar semua
curhatnya itu. Mungkin bagi sebagian orang akan
berpikir bahwa apa yang saya lakukan sama sekali tidak
ada gunanya, tapi saya tidak berpikir seperti itu,
karena saya selalu ingin mendapatkan hikmah dari
setiap peristiwa yang saya alami.

    Sambil meminum secangkir air putih yang saya
suguhkan, mbak ita meneruskan ceritanya lagi dengan
mata yang berkaca-kaca, Sedih sekali mendengar
perlakuan orangtuanya pada dirinya. Saya elus
pundaknya, dan memberinya sedikit nasihat, agar Mbak
ita sabar menghadapi itu semua, jangan lupa sholat dan
berdo’a..Mbak ita mengangguk menatapku, entah apakah
dia mengerti atau tidak……

    Sungguh saya masih ingin mendengar semua keluh
kesahnya agar dia merasa lebih ringan. Tetapi karena
kebetulan saya ada pekerjaan yang harus dilakukan,
setelah cukup lama saya membujuknya, akhirnya mbak ita
mau juga pulang. Mbak ita berterima kasih kepadaku,
dia menyebutkan alamat rumahnya yang hanya beberapa
blok dari rumahku. Sebelum meninggalkan rumahku, dia
bilang : “eka, tolong bilangin ke tetangga sebelah,
ita mau numpang lewat, jangan disakiti ya…” .Ya Allah,
saya hanya mengelus dada menatap kepergiannya.

    Siangnya, rasa penasaran saya muncul mengenai
kebenaran cerita mbak ita. Tidak sulit menemukan
alamat rumahnya. Saya pun mencoba bertanya dengan
tetangga sebelah rumahnya, dan Subhanallah ternyata
semua yang diceritakan mbak ita itu benar adanya.
Ibunya mbak ita sudah lama mengalami stress berat
(gangguan jiwa), mbak ita pun akhirnya mengalami hal
serupa setelah ditinggal menikah pacarnya, ditambah di
PHK nya dia dari tempatnya bekerja. Akhirnya, mbak ita
menjadi ‘begitu’……

    Ya Allah, apa yang harus saya dapat lakukan untuk
mbak ita? Dia membutuhkan perhatian, kasih sayang, dan
cinta dari orang-orang terdekatnya, tetapi yang dia
peroleh justru sebaliknya. Belakangan saya baru
mengetahui kalau masyarakat sekitar memang sudah lama
mengenalnya sebagai ita yang gila. Saya sedih tak
mampu berbuat banyak buat mbak ita, masih terngiang
ditelinga saya kata-katanya yang pasrah : “Berarti ita
harus selalu sabar ya Ka?”. “Iya mbak ita”, jawabku
singkat dan miris.

    Setengah jam lebih waktu saya hadiahkan untuk mbak
ita pagi itu. Hanya itu yang saat ini bisa saya
berikan untuknya, tanda bahwa saya peduli dengan
penderitaannya. Saya senang bisa mengenalnya,
kehadirannya yang tak pernah saya duga sebelumnya,
membuat saya menjadi tak henti-hentinya bersyukur pada
Allah…Juga menyadarkan saya bahwa begitu banyak
orang-orang semacam ita yang membutuhkan perhatian dan
cinta kita, Sesekali mbak ita masih sering menghampiri
rumahku, saya ingin berbuat sesuatu untuknya. meski
hanya dalam bentuk yang sangat sederhana sekalipun…

Wallahu alam.

No comments:

Post a Comment