Tulisan ini
saya tulis tahun 2004 silam, pernah dimuat di eramuslim dot com..Dan
ternyata bulan lalu ada yang reposted, ini linknya ;
http://m.eramuslim.com/oase-iman/seandainya-aku-bisa-terbang.htm
Teman, Aku ingin bercerita. Di salah satu dahan pohon yang rindang,
terdapat sebuah sarang dimana hidup sepasang burung bersama seekor anak
mereka yang baru menetas dari telur beberapa hari lalu. Sepasang Ayah
dan Ibu burung itu nampak berbahagia sekali dengan kehadiran si burung
kecil. Setiap pagi, sang ayah pergi mencari cacing untuk makan si burung
kecil. Setiap hari, sang ibu menemani si burung kecil di sarang,
menghangatkan tubuhnya dan melindunginya dari dinginnya desir angin yang
kencang. Si burung kecil pun merasa nyaman dalam dekapan ibunya. Kalau
perut terasa lapar, ia tinggal mencicit saja, semua dapat diperolehnya
dengan mudah.
Hari berganti hari, tak terasa si burung kecil pun
mulai bertambah usianya. Bulu-bulu di sekujur tubuhnya mulai tumbuh, si
burung kecil sudah punya sepasang sayap mungil. Lalu, sang ayah berkata
padanya : “Nak, kini sudah saatnya engkau belajar terbang, mengepakkan
sayap yang telah Tuhan berikan padamu… Ayah dan Ibu akan mengajarimu
terbang”.
Tetapi si burung kecil nampak ketakutan, dia merasa
belum mampu untuk terbang dengan sayapnya sendiri. Beberapa pertanyaan
berkecamuk dalam pikirannya. Bagaimana nanti kalau sepasang sayapku
ternyata tak bisa dikepakkan? Aku takut jatuh dari ketinggian. Bagaimana
nanti kalau aku lapar? Aku harus mencari makanan kemana? Bagaimana…? Si
burung kecil pun berkata pada Ayah-Ibunya: “Ayah, Ibu, aku ingin tetap
tinggal disarang saja, aku tak mau terbang sendiri, aku takut…”, ucap si
burung kecil lirih.
Lalu, sang Ayah burung mendekap tubuh si
burung kecil dengan penuh kasih sayang, seraya berkata, “Nak, hilangkan
semua kekhawatiran dan ketakutan yang menghantui benakmu itu. Engkau
mempunyai sayap untuk terbang kemanapun engkau ingin pergi. Lihatlah
dunia di luar sana Anakku, engkau akan bertemu dengan burung-burung
lain, engkau akan menjumpai banyak pengalaman hidup yang akan memperkaya
dirimu. Jangan pernah engkau risaukan tentang makanan, karena Tuhan
telah menyediakan semuanya di alam sana, asalkan engkau mau berusaha
menjemputnya Nak”.
Si burung kecil mendengarkan nasehat Ayahnya
dengan sungguh-sungguh, dia termenung sesaat, kemudian dengan semangat
dia berkata, “Iya Ayah, aku akan belajar terbang sekarang, aku tidak
akan takut.” Lalu, si burung kecil mulai mencoba mengepakkan sayapnya
perlahan… agak cepat… semakin cepat… dan kemudian… “Aku bisa terbang!”,
teriak si burung kecil gembira. Ayah dan ibunya tersenyum bahagia
menyaksikan usaha anaknya.
Kini, siburung kecil itu sudah
menjelma menjadi seekor burung besar yang gagah. Ia sudah bisa mencari
makan sendiri, ia sudah menjalani banyak perjalanan hidup yang
menjadikannya mandiri seperti sekarang, bahkan ia sudah menemukan seekor
burung betina cantik menjadi pasangannya. Si burung itu bergumam,
“semua ini tidak akan aku dapatkan seandainya aku tak mau belajar
terbang”
Teman,
Dahulu, kita adalah burung-burung kecil itu,
yang sangat bergantung pada ayah dan ibu kita. Namun Teman, mari
lihatlah dengan seksama diri kita di cermin saat ini. Kita bukan lagi
anak kecil yang masih harus selalu di ‘suapi’ oleh ayah dan ibu seperti
dahulu, kita bukan lagi bocah kecil yang harus berdiam diri keenakan
menanti ‘subsidi’ rutin setiap bulan masuk ke rekening tabungan kita
dari Ayah dan Ibu.
Cobalah Teman, perhatikan sekali lagi sosok
pada cermin di hadapanmu itu. Ya Tuhan, ternyata kita sudah dewasa, tak
terasa usia sudah merangkak ke angka 24 tahun lebih. Tapi, mengapa diri
ini tak ubahnya seperti si burung kecil tadi yang masih ingin terus
berdiam di sarang, karena tak mau susah memikirkan harus mencari makan.
Teman,
mari sejenak kita layangkan ingatan kita pada Rasulullah SAW yang sudah
mandiri sedari Beliau kecil. Malu sekali rasanya diri ini, malu pada
kedua orangtua, terlebih lagi malu kepada-Mu Ya Rabb. Teman, Kemanakah
perginya taujih Imam Syahid Hasan Al Banna, bahwa salah satu karakter
(muwashoffat) seorang kader da’wah adalah Qodiirun ‘alal kasbi (mampu
mencari nafkah sendiri alias mandiri). Apakah hanya menjadi baris-baris
kalimat tak bermakna dalam catatan agenda kita? Semoga tidak.
Teman,
Apakah kita tak memperhatikan kedua orangtua kita yang sudah mulai
lanjut usia, lihatlah kerutan yang mulai menghiasai wajah mereka,
lihatlah tenaga mereka sudah tak sekuat dulu lagi. Lalu, Apakah begini
bakti kita terhadap mereka? Kita masih ‘tega’ membiarkan mereka
membanting tulang untuk membiayai kuliah dan kebutuhan kita sehari-hari.
Teman, padahal sudah saatnya kita menunjukkan pada mereka bahwa kita
sudah bisa mandiri seperti si burung kecil tadi.
Teman, mari
kepakkan ‘sayap’ mu sekarang juga. Jangan takut dengan kencangnya angin
di luar sana, jangan takut dengan ganasnya kehidupan disana. Karena itu
akan membawa kita pada sebuah kedewasaan diri akan hakikat hidup
sesungguhnya.
“Berapa lamakah kau kan tetap menggelepar
menggantung di sayap orang. Kembangkan sayapmu sendiri dan terbanglah
lepas seraya menghirup udaraBebas di taman luas”. (Muh Iqbal)
Wednesday, December 19, 2012
1 comments:
- Unknown said...
-
seperti biasanya, tulisan mbak eka sangat menginspirasi.
- December 23, 2012 at 10:32 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Wednesday, December 19, 2012
Seandainya Aku Bisa Terbang
Tulisan ini
saya tulis tahun 2004 silam, pernah dimuat di eramuslim dot com..Dan
ternyata bulan lalu ada yang reposted, ini linknya ;
http://m.eramuslim.com/oase-iman/seandainya-aku-bisa-terbang.htm
Teman, Aku ingin bercerita. Di salah satu dahan pohon yang rindang, terdapat sebuah sarang dimana hidup sepasang burung bersama seekor anak mereka yang baru menetas dari telur beberapa hari lalu. Sepasang Ayah dan Ibu burung itu nampak berbahagia sekali dengan kehadiran si burung kecil. Setiap pagi, sang ayah pergi mencari cacing untuk makan si burung kecil. Setiap hari, sang ibu menemani si burung kecil di sarang, menghangatkan tubuhnya dan melindunginya dari dinginnya desir angin yang kencang. Si burung kecil pun merasa nyaman dalam dekapan ibunya. Kalau perut terasa lapar, ia tinggal mencicit saja, semua dapat diperolehnya dengan mudah.
Hari berganti hari, tak terasa si burung kecil pun mulai bertambah usianya. Bulu-bulu di sekujur tubuhnya mulai tumbuh, si burung kecil sudah punya sepasang sayap mungil. Lalu, sang ayah berkata padanya : “Nak, kini sudah saatnya engkau belajar terbang, mengepakkan sayap yang telah Tuhan berikan padamu… Ayah dan Ibu akan mengajarimu terbang”.
Tetapi si burung kecil nampak ketakutan, dia merasa belum mampu untuk terbang dengan sayapnya sendiri. Beberapa pertanyaan berkecamuk dalam pikirannya. Bagaimana nanti kalau sepasang sayapku ternyata tak bisa dikepakkan? Aku takut jatuh dari ketinggian. Bagaimana nanti kalau aku lapar? Aku harus mencari makanan kemana? Bagaimana…? Si burung kecil pun berkata pada Ayah-Ibunya: “Ayah, Ibu, aku ingin tetap tinggal disarang saja, aku tak mau terbang sendiri, aku takut…”, ucap si burung kecil lirih.
Lalu, sang Ayah burung mendekap tubuh si burung kecil dengan penuh kasih sayang, seraya berkata, “Nak, hilangkan semua kekhawatiran dan ketakutan yang menghantui benakmu itu. Engkau mempunyai sayap untuk terbang kemanapun engkau ingin pergi. Lihatlah dunia di luar sana Anakku, engkau akan bertemu dengan burung-burung lain, engkau akan menjumpai banyak pengalaman hidup yang akan memperkaya dirimu. Jangan pernah engkau risaukan tentang makanan, karena Tuhan telah menyediakan semuanya di alam sana, asalkan engkau mau berusaha menjemputnya Nak”.
Si burung kecil mendengarkan nasehat Ayahnya dengan sungguh-sungguh, dia termenung sesaat, kemudian dengan semangat dia berkata, “Iya Ayah, aku akan belajar terbang sekarang, aku tidak akan takut.” Lalu, si burung kecil mulai mencoba mengepakkan sayapnya perlahan… agak cepat… semakin cepat… dan kemudian… “Aku bisa terbang!”, teriak si burung kecil gembira. Ayah dan ibunya tersenyum bahagia menyaksikan usaha anaknya.
Kini, siburung kecil itu sudah menjelma menjadi seekor burung besar yang gagah. Ia sudah bisa mencari makan sendiri, ia sudah menjalani banyak perjalanan hidup yang menjadikannya mandiri seperti sekarang, bahkan ia sudah menemukan seekor burung betina cantik menjadi pasangannya. Si burung itu bergumam, “semua ini tidak akan aku dapatkan seandainya aku tak mau belajar terbang”
Teman,
Dahulu, kita adalah burung-burung kecil itu, yang sangat bergantung pada ayah dan ibu kita. Namun Teman, mari lihatlah dengan seksama diri kita di cermin saat ini. Kita bukan lagi anak kecil yang masih harus selalu di ‘suapi’ oleh ayah dan ibu seperti dahulu, kita bukan lagi bocah kecil yang harus berdiam diri keenakan menanti ‘subsidi’ rutin setiap bulan masuk ke rekening tabungan kita dari Ayah dan Ibu.
Cobalah Teman, perhatikan sekali lagi sosok pada cermin di hadapanmu itu. Ya Tuhan, ternyata kita sudah dewasa, tak terasa usia sudah merangkak ke angka 24 tahun lebih. Tapi, mengapa diri ini tak ubahnya seperti si burung kecil tadi yang masih ingin terus berdiam di sarang, karena tak mau susah memikirkan harus mencari makan.
Teman, mari sejenak kita layangkan ingatan kita pada Rasulullah SAW yang sudah mandiri sedari Beliau kecil. Malu sekali rasanya diri ini, malu pada kedua orangtua, terlebih lagi malu kepada-Mu Ya Rabb. Teman, Kemanakah perginya taujih Imam Syahid Hasan Al Banna, bahwa salah satu karakter (muwashoffat) seorang kader da’wah adalah Qodiirun ‘alal kasbi (mampu mencari nafkah sendiri alias mandiri). Apakah hanya menjadi baris-baris kalimat tak bermakna dalam catatan agenda kita? Semoga tidak.
Teman, Apakah kita tak memperhatikan kedua orangtua kita yang sudah mulai lanjut usia, lihatlah kerutan yang mulai menghiasai wajah mereka, lihatlah tenaga mereka sudah tak sekuat dulu lagi. Lalu, Apakah begini bakti kita terhadap mereka? Kita masih ‘tega’ membiarkan mereka membanting tulang untuk membiayai kuliah dan kebutuhan kita sehari-hari. Teman, padahal sudah saatnya kita menunjukkan pada mereka bahwa kita sudah bisa mandiri seperti si burung kecil tadi.
Teman, mari kepakkan ‘sayap’ mu sekarang juga. Jangan takut dengan kencangnya angin di luar sana, jangan takut dengan ganasnya kehidupan disana. Karena itu akan membawa kita pada sebuah kedewasaan diri akan hakikat hidup sesungguhnya.
“Berapa lamakah kau kan tetap menggelepar menggantung di sayap orang. Kembangkan sayapmu sendiri dan terbanglah lepas seraya menghirup udaraBebas di taman luas”. (Muh Iqbal)
http://m.eramuslim.com/oase-iman/seandainya-aku-bisa-terbang.htm
Teman, Aku ingin bercerita. Di salah satu dahan pohon yang rindang, terdapat sebuah sarang dimana hidup sepasang burung bersama seekor anak mereka yang baru menetas dari telur beberapa hari lalu. Sepasang Ayah dan Ibu burung itu nampak berbahagia sekali dengan kehadiran si burung kecil. Setiap pagi, sang ayah pergi mencari cacing untuk makan si burung kecil. Setiap hari, sang ibu menemani si burung kecil di sarang, menghangatkan tubuhnya dan melindunginya dari dinginnya desir angin yang kencang. Si burung kecil pun merasa nyaman dalam dekapan ibunya. Kalau perut terasa lapar, ia tinggal mencicit saja, semua dapat diperolehnya dengan mudah.
Hari berganti hari, tak terasa si burung kecil pun mulai bertambah usianya. Bulu-bulu di sekujur tubuhnya mulai tumbuh, si burung kecil sudah punya sepasang sayap mungil. Lalu, sang ayah berkata padanya : “Nak, kini sudah saatnya engkau belajar terbang, mengepakkan sayap yang telah Tuhan berikan padamu… Ayah dan Ibu akan mengajarimu terbang”.
Tetapi si burung kecil nampak ketakutan, dia merasa belum mampu untuk terbang dengan sayapnya sendiri. Beberapa pertanyaan berkecamuk dalam pikirannya. Bagaimana nanti kalau sepasang sayapku ternyata tak bisa dikepakkan? Aku takut jatuh dari ketinggian. Bagaimana nanti kalau aku lapar? Aku harus mencari makanan kemana? Bagaimana…? Si burung kecil pun berkata pada Ayah-Ibunya: “Ayah, Ibu, aku ingin tetap tinggal disarang saja, aku tak mau terbang sendiri, aku takut…”, ucap si burung kecil lirih.
Lalu, sang Ayah burung mendekap tubuh si burung kecil dengan penuh kasih sayang, seraya berkata, “Nak, hilangkan semua kekhawatiran dan ketakutan yang menghantui benakmu itu. Engkau mempunyai sayap untuk terbang kemanapun engkau ingin pergi. Lihatlah dunia di luar sana Anakku, engkau akan bertemu dengan burung-burung lain, engkau akan menjumpai banyak pengalaman hidup yang akan memperkaya dirimu. Jangan pernah engkau risaukan tentang makanan, karena Tuhan telah menyediakan semuanya di alam sana, asalkan engkau mau berusaha menjemputnya Nak”.
Si burung kecil mendengarkan nasehat Ayahnya dengan sungguh-sungguh, dia termenung sesaat, kemudian dengan semangat dia berkata, “Iya Ayah, aku akan belajar terbang sekarang, aku tidak akan takut.” Lalu, si burung kecil mulai mencoba mengepakkan sayapnya perlahan… agak cepat… semakin cepat… dan kemudian… “Aku bisa terbang!”, teriak si burung kecil gembira. Ayah dan ibunya tersenyum bahagia menyaksikan usaha anaknya.
Kini, siburung kecil itu sudah menjelma menjadi seekor burung besar yang gagah. Ia sudah bisa mencari makan sendiri, ia sudah menjalani banyak perjalanan hidup yang menjadikannya mandiri seperti sekarang, bahkan ia sudah menemukan seekor burung betina cantik menjadi pasangannya. Si burung itu bergumam, “semua ini tidak akan aku dapatkan seandainya aku tak mau belajar terbang”
Teman,
Dahulu, kita adalah burung-burung kecil itu, yang sangat bergantung pada ayah dan ibu kita. Namun Teman, mari lihatlah dengan seksama diri kita di cermin saat ini. Kita bukan lagi anak kecil yang masih harus selalu di ‘suapi’ oleh ayah dan ibu seperti dahulu, kita bukan lagi bocah kecil yang harus berdiam diri keenakan menanti ‘subsidi’ rutin setiap bulan masuk ke rekening tabungan kita dari Ayah dan Ibu.
Cobalah Teman, perhatikan sekali lagi sosok pada cermin di hadapanmu itu. Ya Tuhan, ternyata kita sudah dewasa, tak terasa usia sudah merangkak ke angka 24 tahun lebih. Tapi, mengapa diri ini tak ubahnya seperti si burung kecil tadi yang masih ingin terus berdiam di sarang, karena tak mau susah memikirkan harus mencari makan.
Teman, mari sejenak kita layangkan ingatan kita pada Rasulullah SAW yang sudah mandiri sedari Beliau kecil. Malu sekali rasanya diri ini, malu pada kedua orangtua, terlebih lagi malu kepada-Mu Ya Rabb. Teman, Kemanakah perginya taujih Imam Syahid Hasan Al Banna, bahwa salah satu karakter (muwashoffat) seorang kader da’wah adalah Qodiirun ‘alal kasbi (mampu mencari nafkah sendiri alias mandiri). Apakah hanya menjadi baris-baris kalimat tak bermakna dalam catatan agenda kita? Semoga tidak.
Teman, Apakah kita tak memperhatikan kedua orangtua kita yang sudah mulai lanjut usia, lihatlah kerutan yang mulai menghiasai wajah mereka, lihatlah tenaga mereka sudah tak sekuat dulu lagi. Lalu, Apakah begini bakti kita terhadap mereka? Kita masih ‘tega’ membiarkan mereka membanting tulang untuk membiayai kuliah dan kebutuhan kita sehari-hari. Teman, padahal sudah saatnya kita menunjukkan pada mereka bahwa kita sudah bisa mandiri seperti si burung kecil tadi.
Teman, mari kepakkan ‘sayap’ mu sekarang juga. Jangan takut dengan kencangnya angin di luar sana, jangan takut dengan ganasnya kehidupan disana. Karena itu akan membawa kita pada sebuah kedewasaan diri akan hakikat hidup sesungguhnya.
“Berapa lamakah kau kan tetap menggelepar menggantung di sayap orang. Kembangkan sayapmu sendiri dan terbanglah lepas seraya menghirup udaraBebas di taman luas”. (Muh Iqbal)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
seperti biasanya, tulisan mbak eka sangat menginspirasi.
ReplyDelete